06 September 2020

Melamar 4 : Berjumpa

Melamar 4 : Berjumpa 

Aku berjalan bersama seorang wanita yang kini telah menjadi istriku. Azizah Rahayu. Gadis yang dahulu hanya berstatus sebagai saudara sepupu, namun telah aku incar diam-diam sejak empat tahun yang lalu. Alhamdulillah. Akhirnya dia menerima pinanganku. Meski pada hari itu aku sempat tak percaya diri lantaran mendengar dia telah memiliki kekasih. Namun jujur, hal itu masih membuatku bertanya-tanya. Jika pada hari itu orangtuanya berkata ia telah memiliki kekasih, tapi mengapa ia menerima pinanganku secara tiba-tiba?

“Kak Badrun! Kak Laras!” sapa istriku pada sepasang pengantin yang kami hadiri acara pernikahannya. Seraya bersalaman dengan menelungkupkan kedua tangan di depan dada pada mempelai pria dan bersalaman cipika-cipiki pada mempelai wanita. Diikuti denganku yang berjabat tangan pada mempelai pria dan menelungkupkan kedua tangan pada mempelai wanita.

“Selamat ya atas pernikahan kalian. Aku ikut senang”

“Terima kasih, Azizah. Terima kasih juga sudah menepati janji untuk datang ke pernikahan kami.”

“Sama-sama, Kak Badrun. Lagian juga kenapa gak datang, sih? Gak ada acara penting lain. Haha.”

Azizah tertawa pelan sesaat.

“Oya, Kak Badrun, Kak Laras, kenalin ini suami aku. A Akbar”

Azizah memperkenalkan aku pada kedua mempelai yang dipanggilnya dengan sebutan Badrun dan Laras. Sedangkan aku hanya tersenyum ramah menanggapi perkenalan itu.

“Loh, kamu udah nikah, Zah? Bukannya baru lamaran?” tanya Badrun yang rupanya sudah mengetahui bahwa Azizah sempat dilamar sebelumnya. Tapi jujur, aku rasa ada yang janggal dengan pertanyaannya. Kenapa dia tau tentang lamaran Azizah? 

“Sehari setelah lamaran, saya langsung menikahinya atas pernikahan Azizah sendiri. Itupun, hanya acara sederhana. Dihadiri oleh keluarga saya dan Azizah saja” aku memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan Badrun.

“Hehe. Iya, Kak” Azizah membenarkan perkataanku dengan ekspresi yang tersipu malu. “Tapi, kita bakal adain acara resepsi, kok. Dua minggu lagi. Tepat anniversary pernikahan satu bulan”

Kemudian, Azizah mengambil sebuah kertas undangan resepsi pernikahan kami yang telah disiapkan sebelumnya. Untuk diberikan pada pasangan baru tiga jam tersebut.

“Ini undangannya. Kak Badrun sama Kak Laras datang, ya”

“Insya Allah, Azizah. Kita bakal usahain buat datang ke resepsi kamu dan A Akbar. Iya kan, Laras?” Badrun meminta persetujuan kepada istrinya.

“Iyalah, Kak” jawab Laras pada Badrun dengan panggilan ‘Kak’. “Kamu tenang aja, Azizah. Aku bakal ingetin Kak Badrun kok buat datang ke acara resepsi kamu.”

“Haha. Makasih, Kak Laras”


Sepulangnya kami dari acara pernikahan Badrun dan Laras, pikiranku masih saja diliputi penasaran mengenai pertanyaan yang dilontarkan Badrun. Kenapa dia bisa tau?

“Zah” panggilku pada Azizah sembari terus fokus menyetir.

“Apa, A?”

“Aa boleh nanya?”

“Nanya apa, A? Nanya aja.”

“Badrun itu siapa?”

Azizah terdiam sejenak. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

“Teman.”

“Yakin teman?”

“Iyalah, A. Terus apa lagi?”

“Kok dia tau soal lamaran kamu? Kamu nggak ketemu siapa-siapa kan antara waktu aku ngelamar kamu dan kita nikah?” tanya penasaran. Karena memang jujur, pertanyaan itu terus mengganjal pikiranku. Ditambah lagi, pesepeda motor yang kulihat tempo lalu ketika melamar Azizah. Apa dia, Badrun?

“Cuma teman, A”

“Azizah, jujur sama Aa”

Azizah kembali terdiam. Kemudian kembali bersuara untuk menjawab pertanyaanku sebelumnya.

“Teman dekat”

Aku menghela nafas panjang.

“Oke, teman dekat. Kamu sedekat apa sama Kak Badrun?”

“Ya, teman dekat aja gimana, A. Suka saling cerita.”

“Terus, kamu sempat cerita sama Badrun kalau kamu abis dilamar?”

“Iya. Lagian kan, sekarang mah udah canggih atuh, A. Aku bisa cerita sama Kak Badrun lewat WA. Gak harus ketemu.”

“Bener? Bukan Badrun yang datang ke rumah kamu?”

Azizah terdiam seketika. Pandangannya dialihkan ke jendela kaca mobil disampingnya. Entah benar-benar melihat jalanan, atau justru memikirkan pertanyaan yang kulontarkan.

Aku harap, Badrun bukanlah siapa-siapa dari masa lalumu, Zah. Dan semoga, keinginanmu untuk segera aku nikahi itu benar-benar murni keinginanmu. Agar kamu bisa menerima juga mencintai Aku sepenuh hatimu. 


“Badrun itu siapa?” tanya A Akbar padaku ketika kami masih dalam perjalanan pulang.

“Teman”

“Yakin teman?”

“Iyalah, A. Terus apa lagi?”

“Kok dia tau soal lamaran kamu? Kamu nggak ketemu siapa-siapa kan antara waktu aku ngelamar kamu dan kita nikah?”

“Cuma teman, A” Yah, Kak Badrun kenapa nanyanya pake bilang aku baru lamaran segala sih tadi?

“Azizah, jujur sama Aa”

Aku menghela nafas. Mungkin, aku harus jujur sama A Akbar kali ini.

“Teman dekat”

“Oke, teman dekat. Kamu sedekat apa sama Kak Badrun?”

Entah kenapa, tiba-tiba perasaannku mulai tak enak. Kenapa A Akbar nanya itu, sih?

“Ya, teman dekat aja gimana, A. Suka saling cerita.”

“Terus, kamu cerita sama Badrun kalau kamu abis dilamar?”

“Iya. Lagian kan, sekarang mah udah canggih atuh, A. Aku bisa cerita sama Kak Badrun lewat WA. Gak harus ketemu.”

“Bener? Bukan Badrun yang datang ke rumah kamu?”

Aku terdiam. Memandangi jalanan yang terlihat melalui jendela kaca mobi milik A Akbar. Sembari memikirkan jawaban apa yang harus aku berikan. Apa aku harus menceritakan yang sebenarnya?

“Tapi, kalau kamu gak mau cerita sekarang juga gak papa kok. Kita bisa bahas ini lain kali. Atau mungkin, gak bakal dibahas lagi kalau kebetulan Aa-nya lupa.”

Maaf, A. Aku rasa, ini bukan waktu yang tepat. Lagipula, pernikahan kita baru seumur jagung. Aku gak mau masa-masa awal pernikahan kita dihiasi keributan. Tapi bagaimanapun, aku ini istri A Akbar. Aku akan selalu berusaha untuk mencintai A Akbar, seutuhnya.

Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: